Memeluk Masa Lalu: Kembali Menemukanmu
(By Dwitasari) Read EbookSize | 28 MB (28,087 KB) |
---|---|
Format | |
Downloaded | 682 times |
Last checked | 15 Hour ago! |
Author | Dwitasari |
-----------------------
Jika ada seseorang yang memenuhi seluruh masa mudamu, apakah kamu yakin dia akan jadi sosok yang menemanimu dalam masa kini dan masa tuamu?
Cleo
Aku tidak percaya. Semakin aku menatap matanya, semakin aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aku sulit menerima kenyataan bahwa hari ini kami sungguh kencan. Dia adalah pria yang menghilang selama tiga tahun dari hidupku, kini cowok itu berdiri hanya beberapa sentimeter dari lenganku.
Dia bukan lagi pria berumur dua puluh dua tahun yang dulu aku lihat. Dan, aku bukan lagi gadis berusia tujuh belas tahun yang beberapa tahun lalu dia lihat. Dia, di mataku, malam ini, adalah cowok berusia dua puluh lima tahun, berdiri tegap, mapan, bermata sipit, berwajah oriental, serta memesona. Senyum di bibirnya tidak sekonyol dulu. Kini, barisan giginya yang rapi seringkali disembunyikan seakan dia sedang mengalahkan emosi yang bergejolak dalam dirinya. Dia hanya sesekali menatapku, kemudian tersenyum. Tidak ada tawa bahagia yang dia tunjukkan seperti tiga tahun lalu.
Aku bisa menebak, tidak ada kebahagiaan apapun yang bergejolak dalam dirinya. Kencan kami kali ini tentu hanyalah permintaan maaf. Setelah kencan ini, tentu dia akan pergi seenaknya, semudah ketika dia melambaikan tangan tanpa mengucapkan kalimat perpisahan—seperti tiga tahun lalu. Aku masih berusaha menebak, otakku terus berharap agar Tuhan memberiku kemampuan untuk mengetahui isi otaknya juga. Tapi, hatiku sungguh menolak. Hatiku hanya ingin mempercayai apa yang ingin hatiku percaya. Hatiku hanya ingin percaya bahwa pria itu mencintaiku, meskipun otakku berkata sungguh ini ide yang sangat gila.
Terlalu banyak hal yang berubah, dalam dirinya, juga dalam diriku. Namun, mengapa yang satu ini tidak bisa diubah? Mengapa perasaanku padanya masih sama? Sialnya lagi, aku masih jatuh cinta, cintaku masih begitu kuat seperti pertama kali kami bertemu; pada sebuah perjalanan delapan belas jam menggunakan bus eksekutif menuju Jogjakarta.
Aku menatap matanya sekali lagi. Mencoba mengelak. Mencoba menyadarkan diriku dan berharap ini hanya potongan adegan film yang aku tonton secara maraton. Malam ini, tentu aku sedang bermimpi. Namun, dia memelukku, dan bisa aku rasakan detak jantungnya. Bisa aku simpulkan dengan jelas bagaimana helaan napasnya.
Demi Tuhan. Ini kenyataan.
***
Raditya
Dia tidak suka rokok. Makanya, saat aku menjemput perempuan itu—aku tidak menyentuh rokokku sama sekali. Jadi, dengan debaran jantung yang iramanya berantakan, aku menunggu gadis yang pernah terpisah selama tiga tahun denganku di depan rumahnya. Aku hanya bermodal parfum yang sering aku gunakan dan rambut yang aku rapikan lebih rapi dari biasanya. Mobilku juga aku bersihkan sebersih mungkin. Tidak ada jersey futsal, tidak ada sepatu futsal, tidak berserakan handuk keringat habis futsal. Intinya, aku rasa, semua sempurna.
Aku sangat rapi. Mungkin, itu yang membuatnya terus menatapku dengan wajah keheranan. Aku tidak mengerti mengapa dia terus menatapku sedalam itu. Dia masih terus menatapku bahkan hingga kami sampai di gedung bioskop. Tatapan itu terus berlanjut hingga kami masuk ke dalam teater bioskop. Dia terus menatapku hingga film diputar.
Apa mungkin dia sedang menginterogasi senyumku yang setengah-setengah ini? Andai aku bisa jujur bahwa malam ini sungguh aku grogi setengah mati. Ada banyak kata-kata yang bersarang di kepalaku. Tapi, mulutku tidak bisa diajak kerja sama. Padahal, aku hanya ingin mengucapkan satu kalimat saja. Hari ini aku sungguh bahagia.
Aku tidak mengerti mengapa hari ini dia begitu cantik. Secantik ketika aku pertama kali bertemu dengannya dalam sebuah perjalanan aneh yang aku namakan—keajaiban. Dia adalah keajaibanku. Aku tidak peduli jika dia menganggap kencan ini adalah kutukan. Tapi, bagiku, ini adalah sebuah keajaiban. Seandainya Tuhan mengizinkan, aku hanya ingin pertemuan kami tidak sebatas kencan. Mengapa? Aku tidak ingin kehilangan dia untuk yang kedua kalinya.
Entah bagaimana perasaan dia. Aku juga tidak berani bertanya, karena aku yakin jawaban perempuan hanya akan membuatku semakin bertanya-tanya. Jadi, yang bisa aku temukan dari dalam dirinya, dia tetap gadis yang sama seperti tiga tahun lalu. Manis, menggemaskan, serta memesona. Ah, aku jatuh cinta.
Aku tidak mengerti mengapa aku sangat ingin membawa dia ke dalam pelukanku. Aku tidak mengerti mengapa setiap detik yang kami lewati malam ini terasa begitu menyenangkan. Aku tidak mengerti mengapa aku melakukan ini semua. Padahal, aku sungguh tahu, mencintai gadis itu adalah hal yang sangat dibenci siapapun. Dibenci ibuku. Dibenci Tuhan.
Demi Tuhan. Ini menyakitkan.
***”